Jumat, 04 Maret 2016

Bagaimana Gerhana Terjadi

Tanggal 9 Maret 2016 beberapa wilayah di Indonesia akan mengalami peristiwa Gerhana Matahari Total (GMT). Salah satu kota yang terkena (GMT) yaitu Palembang. Diperkirakan proses GMT dimulai dari pukul 06.20 dengan puncaknya ketika matahari tertutup bulan pada pukul 07.20

Kita mengenal ada dua jenis gerhana yaitu gerhana matahari dan gerhana bulan. Berikut proses terjadinya gerhana yang disitir dari http://informasiana.com/proses-gerhana-bulan-dan-gerhana-matahari/

Terjadinya gerhana bulan dan gerhana matahari adalah sebagai akibat dari Revolusi bulan mengelilingi bumi dan revolusi bumi mengelilingi matahari. Dalam revolusinya, bumi menghasilkan bayang-bayang yang sangat panjang menjauh dari matahari (panjangnya mencapai beberapa ribu kilometer). Bayang-bayang tersebut terdiri dari dua macam bagian, yaitu; bayang-bayang yang sangat gelap, disebut umbra atau bayang-bayang inti; dan bayang-bayang kabur, disebut penumbra atau bayang-bayang semu. Semakin jauh dari bumi, bentuk umbra semakin kecil. Akan tetapi, bentuk penumbranya semakin besar. Akibat adanya umbra dan penumbra inilah gerhana bulan dapat terjadi.

Gerhana bulan terjadi jika bulan dalam peredarannya masuk ke umbra bumi, sebagian atau seluruhnya. Jika bulan berada dalam penumbra bumi, bulan tampak samar-samar; jika sebagaian bulan masuk ke umbra bumi, terjadi gerhana bulan sebagian; jika seluruh bulan masuk ke umbra bumi, terjadi gerhana bulan total. Lama seluruh gerhana bulan dapat berlangsung kira-kira 6 jam, tetapi gerhana bulan total hanya berlangsung kira-kira satu jam empat puluh menit. Sebagaimana bumi, bulan juga menghasilkan umbra dan penumbra jika terkena sinar matahari. Adanya umbra dan penumbra bulan inilah gerhana matahari dapat terjadi.


Proses terjadinya gerhana bulan


Gerhana matahari dapat terjadi jika umbra dan atau penumbra bulan jatuh ke permukaan bumi. Karena bulan jauh lebih kecil daripada matahari, bayang-bayang bulan yang jatuh mengenai permukaan bumi hanya melingkupi luasan yang sempit saja. Oleh karena itu, gerhana matahari yang terjadi dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu gerhana total, gerhana parsial, dan gerhana cincin. Gerhana matahari total dialami oleh bagian bumi yang masuk ke umbra bulan. Gerhana matahari total ini hanya berlangsung kira-kira 6 menit, jauh lebih singkat daripada gerhana bulan total.


Proses terjadinya gerhana matahari


Gerhana matahari parsial (sebagian) dialami oleh bagian bumi yang masuk ke penumbra bulan. Adapun gerhana matahari cincin terjadi jika bulan dan bumi terletak pada jarak terjauh (aphelium). Gerhana ini terjadi karena titik umbra bulan tidak mencapai permukaan bumi. Jadi pada saat itu bumi berada pada penumbra bulan.




KLASIFIKASI TIPE HUTAN



BERDASARKAN FORMASI KLIMATIS

1). Hutan Hujan Tropika
                Tipe hutan ini terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B, jenis tanah didominir oleh jenis litosol, alluvial dan regosol dan berjarak relatif jauh dengan pantai. Terdiri dari :

·       Hutan hujan tropika bawah (0-1000 m dpl).
Hutan ini didominir oleh famili Dipterocarpaceae, terutama genus Shorea, Dipterocarpus, Hopea, Vatica, Dryobalanops dan Cotilobium. Jenis lain yang dijumpai adalah dari famili Lauraceae, Myrtaceae, Myristicae dan Ebenaceae.

·       Hutan hujan tropika tengah (1000-3300 m dpl).
Hutan ini umumnya didominir oleh genus Quercus, Catanopsis  dan Nothogus. Di Aceh dan Sumatera Utara terdapat Pinus merkusii dan di Jawa Tengah terdapat Albizia motana. Di Sulawesi terdapat kelompok Agathis sp dan Podocarpus dan di Jawa Timur terdapat kelompok Casuarina spp.

·       Hutan hujan tropika atas (3300-4100 m dpl).
Umumnya merupakan kelompok-kelompok yang terpisah-pisah oleh padang rumput dan belukar. Di Irian Jaya terdapat jenis Dacrydium, Libercedrus dan Podocarpus.


2).  Hutan Musim
                Tipe hutan ini dijumpai pada daerah yang memiliki tipe iklim C dan D.

·       Hutan musim bawah (0-1000 m dpl).
Jenis pohon yang merupakan ciri khas hutan ini di Jawa, diantaranya adalah jenis Tectona grandis, Acacia leucoploea, Azideracta indica dan Caesalpinia dugiana. Di kepulauan Nusa Tenggara terdapat Eucalyptus alba, Santalum album, sedangkan di Maluku dan Irian Jaya dijumpai adanya jenis Melaleuca leucadendron, Eucalyptus spp dan Timonius ceppycus.

·       Hutan musim tengah dan atas (1000-4100 m dpl).
Jenis-jenis yang merupakan ciri khas untuk tipe hutan ini adalah di Jawa Tengah dan Jawa Timur Casuarina junghuiana dan Indonesia Timur Eucalyptus spp. Dan di Sumatera Pinus merkusii.

3). Hutan Gambut
                Hutan ini terletak pada daerah yang mempunyai iklim tipe A dan B dengan jenis tanah organosol yang memiliki gambut setebal 50 cm atau lebih. Di Indonesia terdapat di sepanjang Sungai Barito, Kalimantan Selatan dan Irian Jaya bagian Selatan. Jenis pohon yang mendominasi diantaranya adalah Alstonia spp, Dyera spp, Diospyros serta Myrestica. Di Sumatera Selatan dan di Kalimantan banyak dijumpai jenis Gonystylus spp.


BERDASARKAN FORMASI EDAFIS

1). Hutan Rawa
                Tipe hutan ini dapat dijumpai pada daerah-daerah yang selalu tergenang air, tidak terpengaruh oleh iklim. Pada umumnya terletak di belakang hutan payau dengan jenis tanah alluvial. Tegakan hutan selalu hijau dengan pohon yang mencapai 40 m dan terdiri atas banyak lapisan tajuk.

2). Hutan payau
                Penyebaran hutan ini terdapat pada daerah-daerah pantai yang selalu teratur tergenang oleh air laut dan terpengaruh pasang surut. Jenis pohon utama adalah Avecenia spp, Sonneratia spp, Rhizophora spp dan Bruguera spp.

3). Hutan pantai
                Terdapat di daerah-daerah kering tepi pantai, tidak terpengaruh oleh iklim, tanah berpasir dan berbatu-batu dan terletak di garis pasang tertinggi. Jenis pohon yang terdapat diantaranya adalah Barringtonia speciosa, Terminalia cattapa, Callophyllum inophylum, Hibiscus tiliaceus, Casuarina equisetifolia dan Pisonia grandis.








Sumber : Muhdi. Pengaruh Elevasi Terhadap Pertumbuhan dan Kualitas Kayu. Program Ilmu Kehutanan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.

Rabu, 02 Maret 2016

Perhitungan Kebutuhan Pupuk










Sumber : Ir. Sri Sumarsih.,M.P. Jurusan Ilmu Tanah. UPN "Veteran" Jogjakarta.

Pengaruh Pemakaian Mulsa terhadap Pertumbuhan Sungkai (Peronema canescens. Jack)


PEMBAGIAN IKLIM MENURUT BEBERAPA AHLI KLIMATOLOGI

a. Wladimir Koppen
Wladimir Koppen adalah seorang ahli klimatologi dari Austria. Ia membagi iklim atas dasar rata-rata suhu udara dan curah hujan bulanan dan tahunan. Koppen berpendapat bahwa suatu iklim termasuk basah atau kering ditentukan oleh indeks hujan.

Klasifikasi iklim menurut Koppen dapat diperinci sebagai berikut.
  1. Iklim A (tropis), yaitu daerah bersuhu 18oC untuk bulan terdingin.
  2. Iklim B (tundra dan kutub), yaitu daerah bersuhu 10oC untuk bulan terpanas.
  3. Iklim C dan D (sedang), iklim C menempati pinggiran benua yang dipengaruhi iklim laut sehingga disebut iklim sedang hangat. Iklim D menempati pedalaman benua sehingga dinamakan iklim salju atau boreal. Adapun batas antara iklm C dan D pada daerah bersuhu 3oC untuk bulan terdingin.
Berdasarkan klasifikasi iklim di atas, Indonesia termasuk iklim A (tropis). Menurut Koppen, iklim A dapat dikelompokkan menjadi beberapa daerah sebagai berikut.
  1. Iklim hujan tropis meliputi beberapa daerah yang bercurah hujan tinggi. Daerah yang bercurah hujan tinggi terdapat di Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua.
  2. Iklim sabana meliputi daerah Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya.
  3. Iklim laut basah meliputi hampir seluruh kepulauan Indonesia terutama Sumatra, Kalimantan, dan Papua.
  4. Iklim salju abadi terdapat di puncak Pegunungan Jaya Wijaya.
b. Schmidt-Ferguson
Schmidt-Ferguson membagi kriteria iklimnya sebagai berikut:
  1. Bulan basah, artinya suatu daerah yang dalam satu tahun curah hujannya lebih dari 100 mm/bulan.
  2. Bulan lembap, artinya suatu daerah yang dalam satu tahun curah hujannya 60 sampai dengan 100mm/bulan.
  3. Bulan kering, artinya suatu daerah yang dalam satu tahun memiliki curah hujan kurang dari 60mm/bulan.
Untuk menentukan iklim (Q), dapat dihitung menggunakan rumus (Rata-rata bulan kering / Rata-rata bulan basah) x 100%

c. Oldeman
Oldeman membagi kriteria iklim dengan pedoman jumlah bulan basah secara berurutan sebagai berikut:
  1. Bulan basah, artinya suatu daerah dalam satu tahun memiliki curah hujan lebih dari 200mm/bulan.
  2. Bulan lembap, artinya suatu daerah dalam satu tahun memiliki curah hujan antara 100 sampai dengan 200mm/bulan.
  3. Bulan kering, artinya suatu daerah dalam satu tahun memiliki curah hujan kurang dari 100mm/bulan.
Prinsip dasar penentuam iklim menurut Oldeman adalah jika bulan basah berturutturut sebagai berikut:
  1. Iklim A jika jumlah bulan basah suatu daerah secara berturut-turut lebih dari 9 bulan.
  2. Iklim B jika jumlah bulan basah suatu daerah secara berturut-turut antara 7-9 bulan.
  3. Iklim C jika jumlah bulan basah suatu daerah secara berturut-turut antara 5-6 bulan.
  4. Iklim D jika jumlah bulan basah suatu daerah secara berturut-turut antara 3-4 bulan.
  5. Iklim E jika jumlah bulan basah suatu daerah secara berturut-turut kurang dari 3 bulan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik benang merahnya bahwa letak Indonesia yang berada di daerah tropis atau berada di sekitar garis khatulistiwa serta diapit oleh dua benua dan dua samudra, sangat berpengaruh terhadap keadaan iklimnya. Indonesia mempunyai iklim tropis yang ditandai dengan temperatur udara yang tinggi serta curah hujan yang dipengaruhi oleh musim. Adanya perubahan arah angin juga berpengaruh terhadap keadaan musim di Indonesia yang terbagi menjadi musim hujan dan musim kemarau.

Beberapa sistem klasifikasi iklim yang sampai sekarang masih digunakan dan pernah digunakan di Indonesia antara lain adalah:

a. Sistem Klasifikasi Koppen
Koppen membuat klasifikasi iklim berdasarkan perbedaan temperatur dan curah hujan. Koppen memperkenalkan lima kelompok utama iklim di muka bumi yang didasarkan kepada lima prinsip kelompok nabati (vegetasi). Kelima kelompok iklim ini dilambangkan dengan lima huruf besar dimana tipe iklim A adalah tipe iklim hujan tropik (tropical rainy climates), iklim B adalah tipe iklim kering (dry climates), iklim C adalah tipe iklim hujan suhu sedang (warm temperate rainy climates), iklim D adalah tipe iklim hutan bersalju dingin (cold snowy forest climates) dan iklim E adalah tipe iklim kutub (polar climates) (Safi’i, 1995).

b. Sistem Klasifikasi Mohr
Klasifikasi Mohr didasarkan pada hubungan antara penguapan dan besarnya curah hujan, dari hubungan ini didapatkan tiga jenis pembagian bulan dalam kurun waktu satu tahun dimana keadaan yang disebut bulan basah apabila curah hujan >100 mm per bulan, bulan lembab bila curah hujan bulan berkisar antara 100 – 60 mm dan bulan kering bila curah hujan < 60 mm per bulan (Anonim).

c. Sistem Klasifikasi Schmidt-Ferguson
Sistem iklim ini sangat terkenal di Indonesia. Menurut Irianto, dkk (2000) penyusunan peta iklim menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson lebih banyak digunakan untuk iklim hutan. Pengklasifikasian iklim menurut Schmidt-Ferguson ini didasarkan pada nisbah bulan basah dan bulan kering seperti kriteria bulan basah dan bulan kering klasifikasi iklim Mohr. Pencarian rata-rata bulan kering atau bulan basah (X) dalam klasifikasian iklim Schmidt-Ferguson dilakukan dengan membandingkan jumlah/frekwensi bulan kering atau bulan basah selama tahun pengamatan ( Ã¥f ) dengan banyaknya tahun pengamatan (n) (Anonim; Safi’i, 1995).

Schmidt-Ferguson membagi tipe-tipe iklim dan jenis vegetasi yang tumbuh di tipe iklim tersebut adalah sebagai berikut; tipe iklim A (sangat basah) jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis, tipe iklim B (basah) jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis, tipe iklim C (agak basah) jenis vegetasinya adalah hutan dengan jenis tanaman yang mampu menggugurkan daunnya di musim kemarau, tipe iklim D (sedang) jenis vegetasi adalah hutan musim, tipe iklim E (agak kering) jenis vegetasinya hutan savana, tipe iklim F (kering) jenis vegetasinya hutan savana, tipe iklim G (sangat kering) jenis vegetasinya padang ilalang dan tipe iklim H (ekstrim kering) jenis vegetasinya adalah padang ilalang (Syamsulbahri, 1987).


Klasifikasi Iklim Schmidt-Ferguson


d. Sistem Klasifikasi Oldeman
Klasifikasi iklim yang dilakukan oleh Oldeman didasarkan kepada jumlah kebutuhan air oleh tanaman, terutama pada tanaman padi. Penyusunan tipe iklimnya berdasarkan jumlah bulan basah yang berlangsung secara berturut-turut.
Oldeman, et al (1980) mengungkapkan bahwa kebutuhan air untuk tanaman padi adalah 150 mm per bulan sedangkan untuk tanaman palawija adalah 70 mm/bulan, dengan asumsi bahwa peluang terjadinya hujan yang sama adalah 75% maka untuk mencukupi kebutuhan air tanaman padi 150 mm/bulan diperlukan curah hujan sebesar 220 mm/bulan, sedangkan untuk mencukupi kebutuhan air untuk tanaman palawija diperlukan curah hujan sebesar 120 mm/bulan, sehingga menurut Oldeman suatu bulan dikatakan bulan basah apabila mempunyai curah hujan bulanan lebih besar dari 200 mm dan dikatakan bulan kering apabila curah hujan bulanan lebih kecil dari 100 mm.
Lamanya periode pertumbuhan padi terutama ditentukan oleh jenis/varietas yang digunakan, sehingga periode 5 bulan basah berurutan dalan satu tahun dipandang optimal untuk satu kali tanam. Jika lebih dari 9 bulan basah maka petani dapat melakukan 2 kali masa tanam. Jika kurang dari 3 bulan basah berurutan, maka tidak dapat membudidayakan padi tanpa irigasi tambahan (Tjasyono, 2004).

Oldeman membagi lima zona iklim dan lima sub zona iklim. Zona iklim merupakan pembagian dari banyaknya jumlah bulan basah berturut-turut yang terjadi dalam setahun. Sedangkan sub zona iklim merupakan banyaknya jumlah bulan kering berturut-turut dalam setahun. Pemberian nama Zone iklim berdasarkan huruf yaitu zone A, zone B, zone C, zone D dan zone E sedangkan pemberian nama sub zone berdasarkana angka yaitu sub 1, sub 2, sub 3 sub 4 dan sub 5.

                                              Klasifikasi Iklim Oldeman


Zone A dapat ditanami padi terus menerus sepanjang tahun. Zone B hanya dapat ditanami padi 2 periode dalam setahun. Zone C, dapat ditanami padi 2 kali panen dalam setahun, dimana penanaman padi yang jatuh saat curah hujan di bawah 200 mm per bulan dilakukan dengan sistem gogo rancah. Zone D, hanya dapat ditanami padi satu kali masa tanam. Zone E, penanaman padi tidak dianjurkan tanpa adanya irigasi yang baik. (Oldeman, et al., 1980)

Selasa, 01 Maret 2016

Analisis P Tanah (Metode Olsen dan Metode Bray)


Metode P Olsen

Metode analisis P tanah “P Olsen” atau metode Natrium Bikarbonat dikembangkan oleh Sterling R Olsen dan rekan kerjanya pada tahun 1954 (Olsen et al., 1954). Metode analisis P tanah ini bertujuan untuk memprediksi respons tanaman terhadap input pupuk P pada tanah berkapur. Metode ini digunakan terutama di Amerika Serikat bagian utara dan barat.

Analisis P Olsen merupakan metode yang paling sesuai untuk tanah berkapur, terutama pada tanah-tanah dengan kandungan kalsium karbonat > 2%. Akan tetapi, dari beberapa hasil penelitian lain dilaporkan pula bahwa metode P Olsen cukup efektif juga untuk tanah asam (Fixen dan Grove, 1990).

Metode P Olsen berlandaskan penggunaan HCO3-, CO3-2, dan OH- pada pH 8,5. Larutan 0,5 M NaHCO3 yang digunakan akan menurunkan konsentrasi larutan dari Ca2+ terlarut dengan terbentuk endapan CaCO3. Larutan 0,5 M NaHCO3 ini juga akan menurunkan kelarutan dari Al+3 dan Fe+3 dengan terbentuknya senyawa Al dan Fe Oksihidroksida. Reaksi-reaksi tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan kelarutan P tanah. Reaksi tersebut juga meningkatkan muatan negatif permukaan dan atau menurunkan jumlah sisi jerapan pada permukaan oksida Al dan Fe pada level pH yang tinggi dan terjadi pula pelepasan (desorption) P tersedia ke larutan tanah.

Nilai Optimum P Olsen:
Nilai P Olsen sebesar 10 mg P / kg merupakan nilai optimal bagi pertumbuhan tanaman. Nilai ini lebih rendah daripada nilai kritis yang digunakan pada nilai analisis P lainnya (menggunakan metode Bray dan Kurtz P-1, metode Mehlich 1, dan metode Mehlich 3). Kondisi tersebut disebabkan karena larutan ekstrasi pada metode P Olsen membebaskan P tersedia dari berbagai tanah lebih sedikit dibandingkan dengan larutan ekstraksi asam yang digunakan pada metode analisis P lainnya.

Interpretasi Data Hasil Pengukuran:
Menurut Kuo (1996) bahwa untuk memperoleh hasil interpretasi yang lebih tepat terhadap hasil penetapan P menggunakan metode P Olsen dari berbagai tanah dengan sifat beragam memerlukan beberapa informasi tentang Kapasitas Serapan P tanah. Hal serupa juga disampaikan oleh Schoenau dan Karamanos (1993) bahwa hasil pengukuran P dari metode P Olsen perlu dibandingkan dengan ketersediaan P tanah dari tanah-tanah dengan sifat kimia P yang lebih beragam.

Alat-alat yang digunakan:
(1) Ayakan No. 10 untuik menghasilkan sampel tanah berukuran 2 mm.
(2) Sendok stainlis steel dengan standar 2 gram.
(3) Dispenser otomatis untuk ekstraktan yang berkapasitas 25 ml.
(4) Tabung erlenmeyer kapasitas 50 ml.
(5) Corong untuk proses penyaringan (ukuran 9 dan 11 cm).
(6) Rak tabung reaksi.
(7) Mesin pengocok dengan kecepatan kocok 200 gerakan per menit.
(8) Kertas saring Whatman No. 42 atau No. 2 atau yang serupa.

Larutan Ekstraksi yang digunakan:
Larutan ekstraksi P Olsen (0,5 M NaHCO3 pH 8,5) dibuat dengan cara melarutkan 420 gram Natrium Bikarbonat atau NaHCO3 (grade komersial) dalam air destilasi dan dijadikan volume 10 liter. Pelarutan NaHCOini dapat menggunakan mixer listrik. Digunakan NaOH 50% untuk menjadikan pH larutan ekstraksi mencapai pH 8,5.

Prosedur Kerja:
(1) Diambil sampel tanah dengan sendok stenlis steel untuk ditimbang tanah seberat 1 gram dan dimasukkan dalam tabung erlenmeyer 50 ml.
(2) Ditambahkan 20 ml larutan ekstraksi P Olsen ke dalam tabung erlenmeyer, kemudian dikocok selama 30 menit pada suhu ruangan 24oC s/d 27oC.
(3) Jika diperlukan agar larutan menjadi jernih (tidak berwarna) ditambahkan 1 cm3 (200 mg) arang aktif (DARCO G60).
(4) Larutan disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman No. 40 atau yang serupa ini. Penyaringan dapat dilakukan berulang jika hasil penyaringan masih belum jernih.
(5) Dilakukan pengukuran P dengan prinsip kolorimetri (perbedaan warna biru) dengan menggunakan alat spektrofotometer.

Perhitungan:
P-Olsen (mg P/Kg tanah) = { (Cp x 0,020 liter) / (0,001 kg tanah)}

Keterangan:
Cp = Nilai hasil perngukuran P yang telah dikalibrasi dari kurva larutan standar. Satuan dari nilai Cp adalkah mg per liter.


Metode Bray dan Kurtz P-1

Analisis P-tanah metode Bray dan Kurtz P-1 diperkenalkan oleh Roger Bray dan Touby Kurtz dari Stasiun Percobaan Pertanian Illionis pada tahun 1945 dan sampai sekarang banyak digunakan di Midwestern dan Utara Sentral Amerika Serikat (Bray and Kurtz, 1945; Frank et al., 1998). Metode ini lebih dikenal dengan metode Bray.

Fosfor hasil ekstraksi dengan metode Bray dan Kurtz P-1 telah terbukti berkorelsi erat dengan respon hasil tanaman pada tanah sangat asam sampai netral di wilayah tersebut. Pada tanah asam, florida larutan ekstraksi Bray dan Kurtz P-1 dapat meningkatkan pelarutan P dari Aluminium Fosfat dengan cara menurunkan aktivitas Al dalam larutan melalui pembentukan berbagai kompleks Al-F.Florida juga efektif menekan terjadinya adsorpsi P lagi oleh koloid tanah. Sifat asam dari larutan ekstraktan (pH=2,6) juga memberikan kontribusi dalam pelarutan P-tersedia dari berbagai bentuk ikatan dengan Al, Ca dan Fe.

Analisis P-tanah metode Bray dan Kurtz P-1 tidak cocok digunakan untuk:
1.        Tanah bertekstur Liat dengan tingkat kejenuhan basa tinggi.
2.        Tanah bertekstur Lempung Liat Berdebu atau tanah bertekstur lebih halus yang berkapur atau memiliki nilai pH tinggi (pH > 6,8) atau memiliki nilai tingkat kejenuhan basa tinggi.
3.        Tanah dengan kandungan setara kalsium karbonat > 7% dari kejenuhan basa, atau
4.        Tanah dengan kandungan kapur tinggi ( > 2% CaCO3)

Pada tanah seperti diatas, terjadi dua reaksi yaitu: reaksi pertama adalah keasaman larutan ekstraksi bisa dinetralkan, kecuali rasio antara larutan ekstraksi dengan tanah ditingkatkan. Reaksi kedua, CaF2 yang terbentuk dari reaksi antara Ca+2 dalam tanah dengan F- yang ditambahkan dari larutan ekstraksi, dapat bereaksi dengan P-tanah dan terbentuk P-tanah immobile.

Kedua jenis reaksi tersebut mengurangi efisiensi ekstraksi P, sehingga menghasilkan nilai uji P tanah yang rendah. Selain itu, larutan ekstraksi Bray dan Kurtz P-1 dapat melarutkan P dari batuan fosfat, sehingga tidak dianjurkan penggunaan metode ini pada tanah yang tinggi kadungan batuan fosfatnya, karena akan diperoleh hasil pengukuran P tanah yang terlalu tinggi.

Nilai hasil pengukuran P tanah dengan metode Bray dan Kurtz P-1 sebesar 25 mg P/kg tanah sampai dengan 30 mg P/kg tanah sering dianggap ”Optimal” untuk pertumbuhan tanaman. Meskipun Holford (1980) melaporkan bahwa nilai kritis yang lebih rendah untuk tanah yang bersifat sangat buffer.


Alat-alat yang diperlukan:
1.        Ayakan tanah No. 10 untuk menghasilkan partikel tanah ukuran kurang dari 2 mm.
2.        Sendok stainles steel untuk menyendok sampel tanah seberat 2 gram.
3.        Ekstraktan dispenser otomatis yang berkapasitas 25 ml.
4.        Tabung erlenmeyer 50 ml, corong penyaring dan rak tabung reaksi.
5.        Mesin pengocok dengan kemampuan 200 gerakan permenit.
6.        Kertas saring yang tahan kondisi asam, seperti kertas saring Whatman No. 42 atau No. 2.

Larutan Yang akan digunakan:
Larutan ekstrasi Bray dan Kurtz P-1 (0,025 M HCl dalam 0,03 M NH4F). Larutan ini dibuat dengan cara melarutkan 11,11 g reagen grade Amonium Florida (NH4F) ke dalam 9 liter air suling.Berikutnya ditambahkan 250 ml dari larutan standar 1 M HCl dan selanjutnya volumenya dibuat menjadi 10 liter dengan ditambahkan air suling. Aduk secara merata. Selanjutnya, pH larutan yang dihasilkan harus pH 2,6 0,05. Penyesuaian terhadap pH yang dibuat tersebut menggunakan HCL atau Amonium Hidroksida (NH4OH).Larutan ekstraksi Bray dan Kurtz P-1 ini disimpan dalam Guci polietilen sampai digunakan.

Prosedur Kerja:
1.        Diambil sampel tanah dengan sendok stenlis steel dan ditimbang seberat 2 gram, lalu dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer ukuran 50 ml.
2.        Ditambahkan 20 ml larutan ekstraksi Bray dan Kurtz P-1 (0,025 M HCl dalam 0,03 M NH4F), lalu dikocok dengan mesin pengocok dengan kecepatan kocok 200 gerakan per menit selama 5 (lima) menit pada suhu kamar (24oC s/d 27oC).
3.        Jika diperlukan agar diperoleh hasil saringan yang tidak berwarna (jernih) ditambahkan 1 cm3 ( sekitar 200 mg) arang atau karbon aktif (Darco G60).
4.        Disaring larutan yang telah dikocok tersebut dengan menggunakan kertas saring Whatman No. 42. Apabila larutan hasil penyaringan belum jernih maka dapat dilakukan penyaringan ulang.
5.        Dilakukan pengukuran P tanah tersebut dengan sistem kolorimeter menggunakan alat spektrofotometer. Pengukuran P dilakukan juga terhadap larutan Blanko dan larutan Standar yang telah disiapkan.
Keterangan:
Cp = Konsentrasi P berdasarkan pembacaan pada spektrofotometer yang telah dikalibrasi dengan kurva hasil penetapan P dari deret larutan standar.




Sumber : http://dasar2ilmutanah.blogspot.co.id/search/label/Analisis%20P%20Tanah