Selasa, 02 Februari 2016

2 Februari, Hari Lahan Basah Sedunia

                Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa tanggal 2 Februari merupakan hari Lahan Basah Sedunia. Sehingga muncul pertanyaan mendasar, apa sih pentingnya Lahan Basah sampai ada hari untuk memperingatinya, sedunia pula.  
                Hari Lahan Basah Sedunia adalah salah satu perayaan hari lingkungan (selain hari lingkungan hidup sedunia, hari bumi sedunia dan hari air sedunia) untuk mengampanyekan kepedulian terhadap lahan basah. Mendorong pemerintah, organisasi nonpemerintah, organisasi konservasi, dan organisasi lainnya, serta masyarakat agar menyadari peran penting lahan basah, konservasi lahan basah, dan pemanfaatan berkelanjutan lahan basah2). Tanggal 2 Februari dipilih karena pada tanggal ini tahun 1971 di Kota Ramsar, Iran, ditandatangani Konvensi Ramsar (The Convention on Wetlands of International Importance, especially as Waterfowl Habitat). Konvensi Ramsar yang merupakan adalah perjanjian internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan berlaku mulai 21 Desember 1975.
                Lahan basah adalah wilayah daratan yang digenangi air atau memiliki kandungan air yang tinggi, baik permanen maupun musiman. Ekosistemnya mencakup rawa, danau, sungai, hutan mangrove, hutan gambut, hutan banjir, limpasan banjir, pesisir, sawah, hingga terumbu karang. Lahan ini bisa ada di perairan tawar, payau maupun asin, proses pembentukannya bisa alami maupun buatan1).


                Sebagai bioma ataupun ekosistem, lahan basah memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Memiliki jenis tumbuhan dan satwa yang lebih banyak dibandingkan dengan wilayah lain di muka bumi. Sehingga mempunyai peran dan fungsi yang penting secara ekologi, ekonomi, maupun budaya. Macam jenis lahan basah dibedakan menjadi dua yaitu lahan basah alami dan buatan. Lahan basah alami meliputi rawa-rawa air tawar, hutan bakau (mangrove), rawa gambut, hutan gambut, paya-paya, dan riparian (tepian sungai). Sedangkan lahan basah buatan meliputi waduk, sawah, saluran irigasi, dan kolam4).
                Lahan basah sangat rentan terhadap eksploitasi berlebih akibat adanya ikan, bahan bakar dan air yang berlimpah. Ketika lahan basah dianggap sebagai lahan yang tidak produktif atau marjinal, maka lahan basah kemudian akan dijadikan sebagai sasaran untuk drainasi dan konversi. Di sisi yang lain, lahan basah juga menjadi korban terdepan akibat adanya tekanan pembangunan. Laju kehilangan dan kerusakan lahan basah semakin bertambah di seluruh bagian bumi. Tekanan terhadap lahan basah nampaknya akan semakin terus meningkat dalam beberapa dekade kedepan akibat adanya peningkatan kebutuhan global terhadap lahan dan air, serta akibat adanya perubahan iklim3).
                Gambut dan mangrove adalah diantara lahan basah yang mengalami kerusakan serius. Hal ini secara negatif dipengaruhi oleh mereka yang bergantung kepada keberadaan lahan basah tersebut untuk keperluan makanan, air, bahan-bahan dan perlindungan. Lebih jauh, kerusakan mereka memberikan sumbangan terhadap perubahan iklim global3).

                Banyak lahan gambut, misalnya hutan rawa gambut di Sumatra dan Kalimantan, yang telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan akasia. Hal tersebut akan memerlukan penebangan tumbuhan hutan (baik secara legal maupun ilegal), kadang-kadang api untuk membuka lahan, serta drainase untuk menurunkan tinggi muka air. Lebih jauh lagi, lahan gambut yang normalnya menyimban karbon  kemudian setelah dikonversi akan menjadi pengemisi gas rumah kaca Karbon Dioksida yang sangat dahsyat. Pembakaran dan konversi lahan gambut memberikan sumbangan terhadap status Indonesia sebagai pengemisi karbon di dunia3). Tentunya masih bencana asap tahun 2014 dan 2015 yang merugikan masyarakat khusunya di Sumatera dan Kalimantan masih hangat diingatan kita yang salah satu sumber utamanya dari pembakaran di lahan gambut.


                Ribuan hektar hutan mangrove, telah ditebangi dan dikonversi menjadi tambak untuk kegiatan budidaya perairan. Setelah beberapa tahun tambak tersebut akan kehilangan produktifitasnya kemudian akan ditinggalkan. Mangrove yang sehat  akan memberikan perlindungan terhadap bahaya dari laut, sementara tambak yang telah rusak kemudian akan menempatkan wilayah pesisir menjadi sangat rentan terhadap bahaya badai dan gelombang dari laut3).
                Dari tahun ke tahun, luas lahan basah di seluruh dunia mengalami pengurangan yang signifikan. Menurut hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa 64% dari lahan basah di seluruh dunia telah menghilang sejak tahun 1900. Bahkan di beberapa kawasan, terutama Asia, laju pengurangan itu lebih tinggi. Saat ini luas lahan basah di dunia diperkirakan lebih dari 8,5 juta km2. Jumlah ini setara dengan lebih dari 6% dari total luas permukaan bumi5).
                Pada beberapa negara lahan-lahan basah  diawasi dengan ketat penggunaannya serta dimasukkan ke dalam program-program konservasi dan rancangan pelestarian keanekaragaman hayati. Indonesia telah menetapkan berbagai wilayah lahan basahnya sebagai kawasan strategis yang dilindungi. 7 situs diantaranya diakui dan ditetapkan sebagai Situs Ramsar  dengan total luas wilayah mencapai 1,3 juta ha. Ketujuh Situs Ramsar di Indonesia tersebut adalah Taman Nasional Berbak (Jambi), Danau Sentarum (Kalimantan Barat), Suaka Margasatwa Pulau Rambut (DKI Jakarta), Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (Sulawesi Tenggara), Taman Nasional Sembilang (Sumatera Selatan), Taman Nasional Wasur (Papua), dan Taman Nasional Tanjung Puting (Kalimantan Tengah)4).
                Namun apalah artinya program-program konservasi dan rancangan pelestarian keanekaragaman hayati jika kita tidak mendukungnya. Yang terpaling penting adalah kita harus bisa menjaga ekosistem lahan basah dan memanfaatkannya secara bijak.//

(Artikel merupakan rangkuman dari beberapa sumber)


Referensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar