Mungkin tidak banyak yang tahu
bahwa tanggal 2 Februari merupakan hari Lahan Basah Sedunia. Sehingga muncul
pertanyaan mendasar, apa sih pentingnya Lahan Basah sampai ada hari untuk
memperingatinya, sedunia pula.
Hari Lahan Basah Sedunia adalah
salah satu perayaan hari lingkungan (selain hari lingkungan hidup sedunia, hari
bumi sedunia dan hari air sedunia) untuk mengampanyekan kepedulian terhadap
lahan basah. Mendorong pemerintah, organisasi nonpemerintah, organisasi
konservasi, dan organisasi lainnya, serta masyarakat agar menyadari peran
penting lahan basah, konservasi lahan basah, dan pemanfaatan berkelanjutan
lahan basah2). Tanggal 2 Februari dipilih karena pada tanggal ini tahun
1971 di Kota Ramsar, Iran, ditandatangani Konvensi Ramsar (The Convention
on Wetlands of International Importance, especially as Waterfowl Habitat).
Konvensi Ramsar yang merupakan adalah perjanjian internasional untuk konservasi
dan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan berlaku mulai 21 Desember
1975.
Lahan basah adalah wilayah
daratan yang digenangi air atau memiliki kandungan air yang tinggi, baik
permanen maupun musiman. Ekosistemnya mencakup rawa, danau, sungai, hutan
mangrove, hutan gambut, hutan banjir, limpasan banjir, pesisir, sawah, hingga
terumbu karang. Lahan ini bisa ada di perairan tawar, payau maupun asin,
proses pembentukannya bisa alami maupun buatan1).
Sebagai bioma ataupun ekosistem,
lahan basah memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Memiliki jenis tumbuhan
dan satwa yang lebih banyak dibandingkan dengan wilayah lain di muka bumi.
Sehingga mempunyai peran dan fungsi yang penting secara ekologi, ekonomi,
maupun budaya. Macam jenis lahan basah dibedakan menjadi dua yaitu lahan basah
alami dan buatan. Lahan basah alami meliputi rawa-rawa air tawar, hutan
bakau (mangrove), rawa gambut, hutan gambut, paya-paya, dan riparian (tepian
sungai). Sedangkan lahan basah buatan meliputi waduk, sawah, saluran irigasi,
dan kolam4).
Lahan basah sangat rentan
terhadap eksploitasi berlebih akibat adanya ikan, bahan bakar dan air yang
berlimpah. Ketika lahan basah dianggap sebagai lahan yang tidak produktif atau
marjinal, maka lahan basah kemudian akan dijadikan sebagai sasaran untuk drainasi
dan konversi. Di sisi yang lain, lahan basah juga menjadi korban terdepan
akibat adanya tekanan pembangunan. Laju kehilangan dan kerusakan lahan basah
semakin bertambah di seluruh bagian bumi. Tekanan terhadap lahan basah
nampaknya akan semakin terus meningkat dalam beberapa dekade kedepan akibat
adanya peningkatan kebutuhan global terhadap lahan dan air, serta akibat adanya
perubahan iklim3).
Gambut dan mangrove adalah
diantara lahan basah yang mengalami kerusakan serius. Hal ini secara negatif
dipengaruhi oleh mereka yang bergantung kepada keberadaan lahan basah tersebut
untuk keperluan makanan, air, bahan-bahan dan perlindungan. Lebih jauh,
kerusakan mereka memberikan sumbangan terhadap perubahan iklim global3).
Banyak lahan gambut, misalnya
hutan rawa gambut di Sumatra dan Kalimantan, yang telah dikonversi menjadi
perkebunan kelapa sawit dan akasia. Hal tersebut akan memerlukan penebangan
tumbuhan hutan (baik secara legal maupun ilegal), kadang-kadang api untuk
membuka lahan, serta drainase untuk menurunkan tinggi muka air. Lebih jauh
lagi, lahan gambut yang normalnya menyimban karbon kemudian setelah
dikonversi akan menjadi pengemisi gas rumah kaca Karbon Dioksida yang sangat
dahsyat. Pembakaran dan konversi lahan gambut memberikan sumbangan terhadap
status Indonesia sebagai pengemisi karbon di dunia3). Tentunya masih
bencana asap tahun 2014 dan 2015 yang merugikan masyarakat khusunya di Sumatera
dan Kalimantan masih hangat diingatan kita yang salah satu sumber utamanya dari
pembakaran di lahan gambut.
Ribuan hektar hutan mangrove,
telah ditebangi dan dikonversi menjadi tambak untuk kegiatan budidaya perairan.
Setelah beberapa tahun tambak tersebut akan kehilangan produktifitasnya kemudian
akan ditinggalkan. Mangrove yang sehat akan memberikan perlindungan
terhadap bahaya dari laut, sementara tambak yang telah rusak kemudian akan
menempatkan wilayah pesisir menjadi sangat rentan terhadap bahaya badai dan
gelombang dari laut3).
Dari tahun ke tahun, luas lahan
basah di seluruh dunia mengalami pengurangan yang signifikan. Menurut hasil
sebuah penelitian menunjukkan bahwa 64% dari lahan basah di seluruh dunia telah
menghilang sejak tahun 1900. Bahkan di beberapa kawasan, terutama Asia, laju
pengurangan itu lebih tinggi. Saat ini luas lahan basah di dunia diperkirakan
lebih dari 8,5 juta km2. Jumlah ini setara dengan lebih dari 6% dari total luas
permukaan bumi5).
Pada beberapa negara lahan-lahan
basah diawasi dengan ketat penggunaannya
serta dimasukkan ke dalam program-program konservasi dan rancangan
pelestarian keanekaragaman hayati. Indonesia telah menetapkan berbagai wilayah
lahan basahnya sebagai kawasan strategis yang dilindungi. 7 situs diantaranya
diakui dan ditetapkan sebagai Situs Ramsar dengan total luas wilayah
mencapai 1,3 juta ha. Ketujuh Situs Ramsar di Indonesia tersebut adalah Taman
Nasional Berbak (Jambi), Danau Sentarum (Kalimantan Barat), Suaka Margasatwa
Pulau Rambut (DKI Jakarta), Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (Sulawesi
Tenggara), Taman Nasional Sembilang (Sumatera Selatan), Taman Nasional Wasur
(Papua), dan Taman Nasional Tanjung Puting (Kalimantan Tengah)4).
Namun apalah artinya program-program konservasi
dan rancangan pelestarian keanekaragaman hayati jika kita tidak mendukungnya. Yang
terpaling penting adalah kita harus bisa menjaga ekosistem lahan basah dan memanfaatkannya
secara bijak.//
(Artikel merupakan rangkuman dari beberapa sumber)
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar